Sintren: Folklore Pesisir Utara Jawa

Sintren bukan sekadar tarian; ia adalah nadi cerita rakyat yang berdenyut di sepanjang pesisir utara Jawa. Di mata banyak orang, Sintren memancarkan aura mistis—gabungan keindahan gerak, nyanyian tradisi, dan narasi legendaris tentang cinta, kesetiaan, dan perjalanan laut. Kesenian ini populer di daerah pesisir Jawa Barat dan Jawa Tengah, terutama Pekalongan, Kendal, dan sekitarnya. Dalam artikel ini kita akan menelusuri folklor yang melandasi Sintren, mengurai asal-usul kata, dan melihat bagaimana cerita-cerita itu bercampur-aduk dengan budaya maritim Pesisir Utara Jawa.

Secara etimologis, kata “sintren” dapat dipahami sebagai gabungan dua suku kata: “Si” dan “tren”. Dalam bahasa Jawa, “Si” berarti “ia” atau “dia”, sedangkan “tren” merujuk pada “tri” atau panggilan yang bermakna putri. Jadi, secara harfiah Sintren bermakna “Si Putri” — menunjuk pada sosok perempuan yang menjadi pemeran utama dalam pertunjukan ini. Makna ini menegaskan posisi tokoh sentral perempuan dalam narasi dan estetika tarian: bukan sekadar penari, melainkan ikon cerita, kekuatan spiritual, dan simbol identitas komunitas pesisir.

Tari Sintren tumbuh dari tradisi lisan yang melahirkan dua versi legenda populer—keduanya berkisar pada tema cinta yang diuji oleh jarak, status, dan kekuasaan.

Versi ini menceritakan Sulasih dan R. Sulandono (putra Bupati Mataram, Joko Bahu atau Bahurekso). Kisahnya penuh unsur magis: ibunda Sulandono memerintahkannya bertapa dan memberinya sebuah sapu tangan yang kelak menjadi jimat untuk bertemu Sulasih. Di sisi lain, Sulasih diperintahkan menari pada upacara bersih desa. Ketika bulan purnama dan pertunjukan berlangsung, Sulasih mengalami trance—yang disebut “sintren”—karena dimasuki kekuatan roh, dan saat itulah sapu tangan yang dilempar Sulandono (yang disebut “balangan”) membuat pertemuan mereka menjadi mungkin. Dari kisah inilah unsur kesurupan dan kekuatan magis Sintren sering dijelaskan.

Versi lain mengaitkan kisah dengan perjuangan dan peperangan: Rantamsari (atau Dewi Rantamsari) dan Ki Joko Bahu dikekang oleh keputusan Sultan Agung. Untuk memisahkan mereka, Ki Joko Bahu dikirim berperang melawan VOC dengan perahu bernama Kaladita. Berpisahnya mereka disertai pemberian sapu tangan. Setelah kabar sang pangeran gugur, Rantamsari menyusuri pesisir utara, menyamar sebagai penari sintren (Dewi Sulasih) untuk melacak jejaknya—hingga akhirnya mereka bertemu kembali. Versi ini menonjolkan unsur maritim: perjalanan laut, kapal, dan wilayah pesisir sebagai latar geografi dan emosional.

Pesisir utara Jawa bukan sekadar setting geografis; ia adalah ruang sosial, ekonomi, dan kultural yang membentuk cerita dan praktik Sintren. Beberapa hubungan penting:

  • Narasi perjalanan laut dan kapal (seperti Kaladita) menempatkan laut sebagai saksi perpisahan dan pertemuan. Laut menjadi medium penghubung—baik fisik maupun metaforis—antara tokoh-tokoh cerita.
  • Praktik penyamaran penari di sepanjang pesisir atau penampilan pada hajatan-hajatan di pelabuhan dan pasar menunjukkan bagaimana Sintren bergerak bersama mobilitas masyarakat pesisir: nelayan, pedagang, dan pelintas laut. Dengan demikian, Sintren berfungsi juga sebagai hiburan, medium komunikasi, bahkan ritual pengikat komunitas.
  • Larik-larik tembang yang dipakai dalam Sintren sering memuat referensi pada perjalanan, angin, dan ombak—unsur-unsur yang resonan dengan kehidupan maritim. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa tembang Sulasih-Sulandono atau Yu Sintren memiliki simbolisme pemanggilan roh yang terkait dengan dunia pantai dan laut.

Dengan kata lain, Sintren adalah produk budaya pesisir: cerita, ritus, dan estetika tari yang lahir dari relasi manusia dengan laut—baik sebagai sumber penghidupan maupun arena takdir.

Pertunjukan Sintren muncul dalam dua gaya utama:

  • Pertunjukan bebas: sering tampil di hajatan, pernikahan, maupun acara penyambutan. Jenis ini biasanya diiringi musik populer lokal seperti tarling atau bahkan dangdut; susunan pemainnya melibatkan satu atau dua Sintren (wanita sebagai bendara dan kadang lais sebagai Sintren pria) serta beberapa penghibur (bodor).
  • Pertunjukan ritual: diadakan pada waktu tertentu—misalnya saat kemarau panjang—sebagai upacara pemanggilan hujan. Durasi tradisionalnya bisa mencapai 35–40 hari, berisi rangkaian doa, mantra, dan tarian berulang.

Dalam beberapa komunitas, pawang atau dalang Sintren kerap memanggil roh Dewi Lanjar untuk “masuk” ke dalam permainan. Ketika Roh Dewi Lanjar dipercaya hadir, penari Sintren biasanya tampak lebih anggun dan tarian menjadi lebih memikat—fenomena ini menunjukkan bagaimana kosmologi lokal, legenda laut (Dewi Lanjar sering diasosiasikan dengan roh pantai/laut), dan praktik tari saling mempengaruhi.

Alat musik pengiring yang umum adalah gong, gendang, dan waditra—perpaduan yang menciptakan irama ritmis untuk memandu gerak spontan penari. Harmoni antara gerak dan iringan inilah yang memberi nilai estetika Sintren: keluwesan, kelembutan, dan kelincahan penari yang muncul dari improvisasi dan respons terhadap musik.

Sintren memuat minimal tiga nilai kearifan lokal yang kuat:

  1. Estetika — keindahan gerak yang spontan, harmoni antara penari dan musik, serta daya pikat visual yang menumbuhkan identitas seni lokal.
  2. Religius — doa, mantra, dan ritual keselamatan sebelum dan selama pertunjukan menandakan dimensi spiritual yang masih melekat pada seni ini.
  3. Rasa hormat — keberlangsungan Sintren menunjukkan penghormatan generasi sekarang terhadap warisan leluhur; upaya pelestarian, termasuk dukungan pemerintah daerah dan partisipasi komunitas, mencerminkan kepedulian kolektif agar tradisi tak punah.

Sintren lebih dari tontonan; ia adalah arsip hidup yang menyimpan mitos, sejarah lokal, dan hubungan manusia dengan laut. Dari etimologi yang sederhana—“Si Putri”—hingga kisah sapu tangan dan perahu Kaladita, Sintren mengajarkan kita bagaimana folklor berkembang di ruang pesisir: lincah, adaptif, dan sarat makna. Menjaga Sintren berarti menjaga cara komunitas pesisir memandang diri dan dunianya—bersama gelombang, badai, dan bulan purnama yang selalu kembali menjadi panggung bagi kisah cinta, kesetiaan, dan harapan.

Sumber: panturapost.com